MENGENAL HOMESCHOOLING
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ALTERNATIF
Diyah Yuli Sugiarti
Abstrak
Homeschooling adalah salah satu model pendidikan yang memperkaya model pendidikan di Indonesia. Ia juga sebagai lembaga pendidikan alternatif yang menunjang tujuan pendidikan Nasional di Indonesia. Dibawah payung hukum yang ada kehadirannya bukanlah sesuatu yang mesti diragukan. Peluang untuk tumbuh kembangnya di era globalisasi demikian membentang. Maka wajar bila keberadaannya mulai dilirik banyak kalangan. Inilah yang menjadi daya tarik untuk mengenalnya lebih dekat.
Kata Kunci : Homeschooling, Teori dan Fakta Homeschooling,
Pendahuluan
Di era globalisasi, semua bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada di garda depan perubahan global tersebut.
Dengan demikian jika ingin survive dan memenangkan kompetisi terbuka, maka lembaga pendidikan harus memiliki terobosan-terobosan progresif, di samping adanya teamwork yang solit dan profesional, sistem manajemen yang efektif, dan kader-kader andal pengisi dan penggerak masa depan yang dipersiapkan sedini mungkin.
Dalam rangka upaya menciptakan terobosan di bidang pendidikan, maka muncullah pendidikan alternatif yang beragam bentuknya. Salah satu di antaranya adalah homeschooling.
Pengertian Homeschooling
Secara bahasa homeschooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Menurut Satmoko Budi Santoso secara substansi makna homeschooling pada aspek kemandirian dalam menyelenggarakan pendidikan di lingkungan keluarga.[1]
Sejarah Homeschooling
Pendidikan semacam ini sudah ada di dalam sistem pendidikan Islam, dimana ibu adalah madrasah utama dan pertama bagi anak-anaknya. Kemunculan homeschooling mulai marak terjadi di Amerika Serikat pada kurun 1960-an oleh John Caldwell Holt. Dasar pemikiran Holt mengandung misi pembebasan cara berpikir instruktif seperti yang dikembangkan melalui sekolah. Sejak itu ide untuk merealisasikan homeschooling terus bergulir dari waktu ke waktu. Dan masyarakatpun mulai ikut mengkritisi pendidikan formal di sekolah yang cenderung stagnan. Terlebih-lebih setelah terjadi kapitalisasi pendidikan di mana pendidikan dijadikan sebagai projek . Demikian pula para pemerhati pendidikan mulai menilai bahwa homeschooling ternyata jauh lebih efektif dibandingkan dengan lembaga regular (formal). Maka perkembangan homeschooling terus meluas. Hingga pada tahun 1996, di Amerika sudah lebih dari 1,2 juta anak homeshooler dengan pertumbuhan 15% setiap tahunnya.[2] Dan pertumbuhan homeschooling terus meluas di Eropa dan Asia.
Di Indonesia, homeschooling sudah lama terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja dahulu belum memakai istilaah homeschooling tetapi lebih terkenal dengan belajar otodidak. Ini dapat diketahui dari Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara yang ternyata keberhasilannya didapat tanpa menjalani pendidikan formal. Homeschooling di Indonesia mulai marak terjadi pada tahun 2005. Kehadirannya lebih dilatarbelakangi sebagai upaya mengantisipasi keberadaan sekolah regular (pendidikan formal) yang tidak merata ditiap-tiap daerah. Selain itu ada pula motivasi untuk memperkaya bentuk dan ragam pelaksanaan pendidikan khususnya anak berbakat / memiliki potensi khusus.
Seiring merebaknya homeschooling di Indonesia semakin antusias pula minat orang tua menyekolahkan anaknya di homeschooling. Bahkan saat ini homeschooling telah menjadi tren di kota-kota besar di Indonesia . Dari fenomena tersebut dapat diperkirakan bahwa homeschooling semakin dibutuhkan masyarakat. Setidak-tidaknya keberadaan homeschooling akan memenuhi sekitar 10% dari total jumlah anak di Indonesia .[3]
Jenis Homeshooling
Homeschooling pada mulanya berbentuk “Homeschooling Tunggal” yang diselenggarakan oleh satu keluarga. Kemudian mengalami perkembangan menjadi “Homeschooling Majemuk” yaitu terdiri dari beberapa keluarga dalam suatu lingkungan. Bila semakin besar maka akan terbentuk ”Homeschooling Komunitas” yang membutuhkan pengelolaan yang teratur dan tersruktur.
Payung Hukum Homeschooling
a. Dasar Hukum Islam
”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan meninggikan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al Mujaadalah / 58:11)
Dan Sabda Rosulullah SAW:”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
(HR Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas RA. Attobroni dan Al Khatib dari Al Husain bin Ali RA)
b. Dasar Hukum Internasional
Untuk komitmen Internasional merujuk pada A World Fit For Children (Menciptakan Dunia Yang Layak Bagi Anak) tahun 2002 yang menyatakan: ”Menempatkan anak sebagai pertimbangan pertama untuk kepentingan terbaik anak; Memperhatikan tumbuh kembang terbaik anak sebagai dasar utama engembangan manusia; Dan memberikan kesempatan pendidikan yang sama untuk setiap anak”.
c. Dasar Hukum Nasional
Sedangkan dasar Legalitas Home Schooling dalam payung hukum Nasional adalah:
1. UUD 45 dan perubahannya
2. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003
3. UU Nomor 32 tahun 2003 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
4. PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
5. PP Nomor 25 tahun 2000 kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai daerah otonom.
6. PP Nomor73 tentang Pendidikan Luar Sekolah
7. Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0131/U/1991 tentang paket A dan B
8. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional nomor 132/U/2004 tentang Paket C.
Pada Amandemen UUD 1945 pasal 28 b yang menyatakan ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Dan pada UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 yaitu pada pasal 4 yang menyatakan ”Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Juga pada pasal 9 yang menyatakan ”Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”
Pada UU nomor. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 1 UU Sisdiknas dikata bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara aktif. Kemudian peserta dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”. Berdasarkan definisi pendidikan
tersebut, home schooling menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam UU Sisdiknas dikenal tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Program sekolah rumah tinggal dan majemuk dapat dimasukkan sebagai model pendidikan yang diklasifikasikan sebagai satuan pendidikan informal, hal ini berdasarkan UU Sisdiknas, pasal 27 ayat 1 yang berbunyi: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Dalam hal ini pemerintah tidak mengintervensi dengan membuat peraturan tentang standar isi dan proses pelayanannya. Pemerintah hanya memberlakukan standar penilaian dan memberikan ijazah bagi lulusan home schooling informal jika ingin disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal.
Sedangkan Home schooling komunitas sebagai pendidikan alternatif, dimasukkan sebagai model pendidikan yang diklasifikasikan sebagai satuan pendidikan nonformal. Hal ini sesuai dengan pasal 26 ayat 4 UU Sisdiknas yaitu ”Kelompok belajar ditetapkan sebagai salah satu klasifikasi model pendidikan alternative yang merupakan satuan pendidikan nonfornmal”. Maka seperti pada home schooling informal, pada home schooling nonformal pemerintah juga tidak mengintervensi dengan membuat peraturan tentang standar isi dan proses pelayanannya. Pemerintah hanya memberikan standar penilaian dan ijazah
bagi lulusan home schooling nonformal jika ingin disetarakan dengan pendidikan jalur formal untuk dapat melanjutkan jenjang pendidikan sekalipun ke perguruan tinggi manapun di Indonesia.
Setiap lembaga pendidikan formal dihadapkan pada tuntutan baru dengan adanya pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang terdiri dari 8 standar yaitu : standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Namun bagi home schooling komunitas atau nonformal, pemerintah tidak mengintervensi tentang standar isi dan proses pelayanannya. Pemerintah hanya menekankan pada standar penilaian.
Sebagai lembaga yang memiliki Homeschooling bukanlah lembaga pendidikan yang meragukan bahkan dengan standar kompetensi yang dimiliki tidak menutup kemungkinan Homeschooling akan melahirkan lulusan yang tak kalah cerdas dari lembaga formal dan sekaligus melahirkan generasi terbaik yang berjiwa pemimpin.
Keunikan Homeshooling dibanding sekolah formal
Pendidikan alternatif homeschooling memiliki persamaan dengan sekolah formal diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai model pendidikan anak.
2. Bertujuan untuk masa depan anak yang lebih baik.
3. Media untuk mencapai tujuan pendidikan seperti kecerdasan dan ketrampilan.
Sementara itu terdapat perbedaan antara homeschooling dengan sekolah formal diantaranya adalah :
Sekolah formal :
sistem pendidikannya memiliki standarisasi yang ditentukan oleh pemerintah, manajemennya menggunakan kurikulum terpusat/diatur, Jadwal atau kegiatan belajarnya baku dengan sistem yang berlaku, Tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada guru atau lembaga sekolah sedangkan peran orang tua relatif minim, serta model belajarnya orang tua hanya mengawasi saja.
Lembaga pendidikan alternatif homeschooling :
sistem pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan anak dan keluarga, manajemennya memakai kurikulum terbuka yang bisa dipilih, Jadwal atau kegiatan belajarnya bersifat fleksibel sesuai dengan kesepakatan bersama, peran orang tua sangat dilibatkan bahkan sebagai penentu keberhasilan, serta model belajarnya tergantung komitmen dan kreativitas orang tua / siswa dalam mendisain sesuai kebutuhan.[4]
Tujuan HomeSchooling
Tujuan dilaksanakannya homeschooling menurut Imas Kurniasih S.PdI adalah:
1. Menjamin penyelesaian pendidikan dasar dan menengah yang bermutu bagi untuk proses pembelajaran akademik dan kecakapan hidup.
2. Menjamin pemerataan dan kemudahan akses pendidikan bagi setiap individu untuk proses pembelajaran akademik dan kecakapan hidup.
3. Melayani peserta didik yang memerlukan pendidikan akademik dan kecakapan secara fleksibel untuk meningkatkan mutu
kehidupannya.
Faktor Pemicu dan Pendukung HomeSchooling
1. Kegagalan atau kelemahan dari sistem pendidikan formal
2. Teori Inteligensi Ganda Gardner menggagas teori intelgensi ganda. Pada awalnya ditemukan distingsi 7 jenis inteligensi atau kecerdasan manusia. Dan pada tahun 1999 ia menambahkan 2 jenis lagi. Kesembilan inteligensi tersebut adalah: linguistik(bahasa), matematis-logis, ruangn-visual, kinestetik- badani, musikal, interpersonal, intrapersonal, lingkungan dan eksistensial(spiritual). Teori ini memicu orang tua lebih mengembangkan potensi yang dimiliki anak lebih dari yang didapat secara formal di sekolah..
3. Adanya sosok homeschooler terkenal seperti Benyamin franklin. Thomas Alfa Adison, KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro
4. HomeSchooling adalah sekolah alternatif yang memiliki payung hukum
5. Tersedianya aneka sarana
Model-model Homeschooling
Banyak ragam model homeschooling. Pilihan disesuaikan dengan gaya anak-anak. Namun pada dasarnya homeschooling bersifat unique. Karena setiap keluarga memiliki latar belakang yang berbeda . Model-model yang berkembang adalah:
1. Unit Studies Approach
Adalah model pendidikan yang berbasis pada tema unit strudy. Pendekatan ini siswa mempelajari banyak mata pelajaran sekaligus melalui sebuah tema yang dipelajari. Ini didasarkan pemikiran proses belajar seharusnya teringegrasi, bukan terpecah
2. The Living Book Approach
Model ini memakai pengalaman dunia nyata, seperti berkunjung ke museum. Model ini dikembangkan oleh Charlote Mason
3. The Classical Approach
Model ini Menggunakan kurikulum yang terstruktur berdasarkan perkembangan anak
4. The Waldorf Approach
Model ini kembangkan oleh Rudolph Steiner, banyak ada di Amerika, yaitu berusaha menciptakan setingan sekolah yang mirip dengan keadaan rumah.
5. The Mantessori Approach
Model yang dikembangkan oleh Dr Maria Montessori. Pendekatan ini mendorong penyiapan lingkungan pendukung yang nyata dan alami, mengamati proses interaksi anak-anak sehingga dapat mengembangkan potensinya baik secara fisik, mental maupun spiritual.
6. The Electic Approach
Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mendisain program sendiri.
7. Unschooling Approach Model ini memiliki pandangan bahwa anak-anak memiliki keinginan natural untuk belajar, tidak berangkat dari textbook tetapi dari minat yang difasilitasi.[5]
Kurikulum dan Materi Ajar Homeschooling
Di Indonesia baru ada kurikulum Diknas, sedangkan di luar negri banyak
pilihan, dari yang gratis sampai yang termahal. Kurikulum dalam homeschooling tidak dipaksakan harus menginduk Diknas, namun bagi yang akan memakai kurikulum Diknas bukan suatu masalah. Biasanya yang mengacu pada kurikulum Diknas untuk 1 semester dapat ditempuh lebih cepat dengan 3 bulan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menerapkan kurikulum :
1. Mencari dahulu kompetensi apa yang harus dikuasai anak
2. Menyusun semua kompetensi yang ada
3. Membuat metode yang menyenangkan dalam pembelajaran.
Mayoritas homeschoolers (70%) memilih sendiri materi pengajaran dan kurikulumnya. Kemudian melakukan penyesuaian dengan kebutuhan anak, keluarga dan pra syarat pemerintah.. 24% di antaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari penyedia kurikulum. Dan sekitar 3% menggunakan materi dari partner homeschooling yang dijalankan oleh lembaga setempat.[6]
Jam Belajar Program Homeschooling
Pendekatan kesetaraan dapat diterapkan untuk program homeschooling dengan harapan muatanan materi ajar setara dengan program pendidikan harapan muatan kurikulum dan materi ajar setara dengan program pendidikan formal dengan harapan muatanan materi ajar setara dengan program pendidikan harapan muatan kurikulum dan materi ajar setara dengan program pendidikan formal dan nonformal. Berikut ini pedoman jumlah jam belajar yang setara dengan paket A,B, dan C yang dirancang Depdiknas.
Tabel 2
Pedoman Jam Belajar Paket A, B dan C dari Depdiknas
Paket A Setara SD/MI Tahap Awal | Paket A Setara SD/MI | Paket B Setara SMP/MTs | Paket C Setara SMA/SMK/MA |
595 jam / tahun | 680 jam / tahun | 816jam / tahun | 969 jam / tahun |
180 hari / tahun | 180 hari / tahun | 180 hari / tahun | 180 hari / tahun |
3,3 jam / hari | 3,8 jam / hari | 4,5 jam / hari | 5,4 jam / hari |
34 minggu / tahun | 34 minggu / tahun | 34 minggu / tahun | 34 minggu / tahun |
30 SKS / tahun | 30 SKS / tahun | 34 SKS / tahun | 38 SKS / tahun |
Durasi @ 35 menit | @ 40 menit | @ 40 menit | @ 45 menit |
(Sumber: “Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak bangsa”, Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas 2006)
1. Penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul.
2. Penilaian formatif oleh tutor melalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portopolio dalam proses tutorial
3. Penilaian semester
4. Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Ujian nasional pendidikan kesetaraan untuk program Paket A untuk SD, Ujian pendidikan kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk menyetarakan lulusan peserta didik dari pendidikan nonformal dengan pendidikan formal atau sekolah. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Ujian nasional diselenggarakan 2 (dua) kali setahun. Peserta ujian nasional adalah warga belajar pada program Paket A,B,C dengan persyaratan administratif sebagai berikut:
1. Terdaftar pada Kelompok Belajar dan tercatat dalam buku induk.
2. Memiliki STTB/ Ijazah/ Surat Keterangan yang berpenghargaan sama dengan STTB dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, dengan tahun penerbitan sekurang-kurangnya dua tahun sebelum mengikuti ujian nasional.
3. Duduk di kelas VI SD untuk Paket A, dan telah menyelesaikan seluruh modul pembelajaran yang harus dipelajari pada masing-masing program atau telah menyelesaikan seluruh program pada SD/MI sederajat disertai bukti berupa hasil penilaian berupa rapor.
4. Pada saat ujian telah berumur sekurang-kurangnya 12 tahun untuk Paket A
Untuk ujian Nasonal tahun 2010 mata pelajaran yang diujukan adalah:
Tabel 3
Mata Pelajaran Ujian Nasional Kesetaraan
Jenjang Pendidikan | Program | Mata Ujian |
SD | Paket A | 1. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Ilmu Pengetahuan Alam |
SMP | Paket B | 1. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Matematika 3. Ilmu Pengetahuan Sosial 4. Bahasa Indonesia 5. Bahasa Inggris 6. Ilmu Pengetahuan Alam |
SMA IPS | Paket C | 1. Pendidikan kewarganegaraan 2. Bahasa Inggris 3. Sosiologi 4. Geografi 5. bahasa Indonesia 6. Ekonomi 7. Matematika |
| Paket C | 1. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Bahasa Inggris 3. bahasa Indonesia 4. Matematika |
(Sumber data dari UPTD PNFI Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi)
Penutup
Homeschooling memperkaya model pendidikan di Indonesia dan lembaga alternatif yang keberadaannya menunjang tujuan pendidikan Nasional. Sementara itu masyarakat Indonesia yang memiliki kekurangan atau kelebihan tertentu dan tidak dapat digarap pada sekolah formal, sangat memerlukan solusi adanya lembaga alternatif yang salah satunya adalah homeschooling. Maka dengan berpayung hukum yang ada, homeschooling menjadi suatu yang penting untuk dipertimbangkan. Dan karena keberadaannya dapat diharapkan menunjang tujuan pendidikan Nasional maka sudah sepantasnya homeschooling mendapat dukungan dari pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan atau Departemen Agama, tokoh dan praktisi pada masing-masing bidang serta masyarakat Indonesia.
Bagi perintis atau pengelola harus memiliki energi, tekat dan motivasi yang tinggi, mengingat homeschooling adalah lembaga nonformal yang masih terasa asing bagi khalayak. Sebagai lembaga yang dihadapkan pada tantangan globalisasi maka dibutuhkan manajemen yang andal, kreatif dan inovatif. Dan yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah melegalisasikannya pada pejabat dan aturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Cheri Fuller, School Starts at Home / Sekolah Berawal Dari Ruma), ( USA, Pinon Press, 2004 /Bandung, Khazanah Bahari, 2010)
Departemen Pendidikan Nasional, Sosialisasi KTSP, Rancangan Penilaian Hasil Belajar (PPT),2006
Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa, 2006
Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Komunitas Sekolah Rumah sebagai Satuan Pendidikan Kesetaraan, 2006
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan tarjamahan, (Jakarta ,Darussalam.2002)
Holy Setyowati, Home Schooling, Creating TheBest of Me,( Jakarta, Gramedia, 2010)
Imas Kurniasih, Home Schooling Kenapa Tidak? (Jogjakarta , Cakrawala, 2009)
Maria Magdalena, Jangan Takut Coba-coba Home Schooling!, (Jakarta, Gramedia 2010)
Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif Mengapa Tidak? (Jogjakarta, Diva Press, 2010)
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[1] Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Meengapa tidak?, (Jogyakarta : Penerbit Diva Press, 2010), h.71
[2] Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif Mengapa Tidak? (Jogyakarta : Penerbit Diva Press, 2010), h.68
[4] Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, mengapa tidak? (Jogyakarta : Penerbit Diva Press, 2010), h.73
[6] Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, mengapa tidak? (Jogyakarta : Penerbit Diva Press,2010) h, 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar