Minggu, 02 Januari 2011

JURNAL : PENDIDIKAN ISLAMI UNTUK TERBENTUK GENERASI YANG BERKOMPETEN

 Abstrak
Pendidikan Islami adalah upaya sadar dan terstruktur, terprogram dan sistematis yang berlandaskan Aqidah Islamiyah dan bertujuan untuk: (1) Memiliki kepribadian Islam, (2) Menguasai Tsaqofah Islamiyah, (3) menguasai ilmu pengetahuan, (4) dan memiliki ketrampilan yangn memadai.  Pendidikan Islami tersebut berada dalam tanggung jawab : (1) Keluarga, (2) Masyarakat, (3) Negara.  Khusus untuk negara, maka pendidikan yang hukumnya fardlu’ain dilaksanakan melalui lembaga sekolah yang diberikan kepada seluruh warganegaranya dengan kurikulum yang berkarakter .

Kata Kunci: Pendidikan Islami, tujuan pendidikan, penanggungjawab pendidikan, kurikulum pendidikan Islami dangenerasi yang berkompeten

PENDAHULUJAN
Islam dikenal sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Namun Islam bukanlah hasil ijtihad atau pemikiran beliau SAW. Akan tetapi langsung berasal dari Allah SWT. Di antara agama (syariat) yang pernah diturunkan Allah SWT, Islam adalah agama terakhir yang paling sempurna seperti firman Allah SWT :“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3)
Kesempurnaan Islam ditandai dengan aturannya yang meliputi  semua aspek kehidupan, juga kemampuannya memecahkan semua masalah yang muncul di dalamnya. Oleh karena itu perbuatan manusia harus terikat dengan aturan Islam. Firman Allah SWT:“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dengan demikian seluruh kaum muslimin harus mengikatkan setiap aktivitasnya dengan aturan-aturan Islam, tak terkecuali dalam pendidikan.
Menurut UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal satu disebutkan tentang pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, msyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan  yang dilandasi dengan Aqidah Islamiyah adalah disebut sebagai pendidikan Islami. Sedangkan Aqidah Islamiyah diartikan sebagai cara pandang bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan diciptakan oleh Allah SWT dan semuanya akan kembali kepadaNya.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAMI
     Pendidikan Islami yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang : (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilam yang memadai 

      Membentuk Kepribadian Islam (Syakshiyyah Islamiyyah)
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa-apa (dinul Islam) yang kubawa.” (Hadist Arba’in An-Nawawiyyah)
Kepribadian Islam merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam kehidupannya. Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada pola pikirnya (aqliyyah) dan pola sikap  (nafsiyyah) yang disandarkan pada aqidah Islam[1].
Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam sebagaimana yang pernah diterapkan Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang merupakan aqidah yang muncul melalui proses perenungan pemikiran yang mendalam. Kedua mengajaknya untuk selalu bertekat menstandarkan pola pikir dan pola sikap pada aqidah Islam yang dimilikinya. Ketiga, mengembangkan pola pikir  dengan Tsaqofah Islam dan mengembangkan pola sikap  dengan dorongan untuk menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu ke waktu.
Seseorang yang sudah berpola pikir Islam tidak akan mau punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Semua pemikiran dan pendapatnya selalu sesuai dengan keislamannya. Tidak pernah keluar pernyataan: “Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu tergantung pada pribadi kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar contohnya adalah “Sebagai seorang muslim, tentu saya berpendapat hal itu buruk, karena Islam mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana ketetapan Islam atas sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu itu. Ia segera menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap sesuatu hal yang baru baginya itu.
Seseorang yang berpola sikap Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis,ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya pada lawan jenis itu lewat pernikahan. Pola sikap ini seharusnya semakin lama semakin berkembang. Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram, secara bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dengan semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin banyak aktivitas mubah yang ia tinggalkan.
Seseorang yang berkepribadian Islam tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi malaikat. Hanya saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar bertobat kepada Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam.
    
                  Menguasai Tsaqofah Islam
“Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Az-Zumar: 9)
Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science), tsaqofah adalah ilmu yang didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi lewat pemberitaan, pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata.  Tsaqofah Islam adalah tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada Islam dalam kehidupannya.  Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah.  Ketetapan-ketetapan Allah ini dapat dipahami dari ayat-ayat Al qur’an dan hadits-hadits Rosulullah.  Maka ia terdorong untuk mempelajari tafsir Al Qur’an dan mempelajari haditst.  Karena Al Qur’an dan haditst dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari bahasa Arab.  Karena teks-teks Al Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar, maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari AlQur’an  dan hadist yaitu ilmu ushul fiqh.  Pada saat sesorrang belum mampu memahami ketentuan Allah langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang yang sudah memahaminya dengan kata lain mempelajari fiqh Islam. Demikianlah bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist, Ushul Fiqh dan fiqh merupakan bagian bagian dari Tsaqofah Islam.  Dengan tsaqofah Islam setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam kehidupan sesuai dengan arahan Islam.
3.       
                  Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (Iptek)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imron: 190)
Menguasai iptek dimaksud agar umat Islam dapat menjelaskan fungsinya sebagai kholifah Allah SWT dengan baik dan optimal di muka bumi ini.  Lebih dari itu Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu kifayah, yaitu sesuatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran, rekayasa industri dan lain-lain.
4.       
                  Memiliki ketrampilan yang memadai
Siapkanlah bagi mereka kjekuatan dan pasukan kuda yang kamu sanggupi.” (QS Al Anfal: 60)
Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya ketrampilan dalam industri, penerbangan dan pertanian, informasi dan sebagainya juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai kholifah Allah di muka bumi, sebagaimana halnya iptek, Islam juga menjadikan ketrampilan sebagai fardlu kifayah.  Harus ada yang menguasainya pada saat umat membutuhkannya.

PILAR PENANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN ISLAMI

Pendidikan keluarga
           Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak.  Pendidikan di keluarga   bertujuan membentuk fondasi kepribadian Islam pada anak yang akan dikembangkan setelah anak masuk sekolah.  Pendidikan dalam keluarga menyiapkan anak menjadi muslim yang siap menjalankan semua taklif (beban) hukum dari Allah ketika ia memasuki usia baligh.  Dalam proses pendidikan dipahami bahwa sesungguhnya ibu bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab di dalam keluarga.  Namun memang tidak dapat dipungkiri yang paling dominan pengaruhnya dan keberhasilan penndidikan anak adalah ibu, karena ia orang yang pertama kali memberi warna pada anak.  Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak.  Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain.  Mengingat besar dan pentingnya peran ibu dalam proses tumbuh kembangnya anak, termasuk dalam penentuan corak kepribadian anak, maka kualitas para ibu sangat berpengaruh pada kualitas generasi masa depan.

Pendidikan  Masyarakat
            Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di tengah masyarakat juga merupakan pendidikan sepanjang hayat lewat pengalaman hidup sehari-hari.  Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa di dalam diri individu.  Masyarakat sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku individu.  Masyarakat Islam juga memiliki kepekaan yang tinggi sehingga mampu mencium penyelewengan individu dari dalan Islam dan segera meluruskannya.  Dalam pengawasannya individu tidak akan berani melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.

Pendidikan di Sekolah oleh negara
            Di dalam Islam menuntut ilmu adalah kewajiban yang hukumnya fardlu’ain sebagaimana sabda Rosulullah SAW:Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”  (HR Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas RA.  Attobroni an Al Khaib dari Al Husain bin Ali RA)
Sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap muslim, maka menurut ijma sahabat, negara wajib memberikan pendidikan Islami melalui sekolah bebas biaya bagi setiap warga negaranya. Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab penguasa adalah diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dan sadaqoh ad Dimasyqi, dari al Wadl-iah bin Atha; bahwasannya ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji lima belas dinar (kurang lebih 63.75 gram emas) setiap bulannya.  Di samping itu Rosulullah telah menentukan tebusan tawanan peranng Badar berupa keharusan mengajar sepuluh kaum muslimin.  Ini membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi tanggung jawab negara, karena hal ini menyangkut hajat hidup rakyat yang vital berupa penanganan masalah kebodohan dan pemberantasan buta huruf.  Adapun  dalil yang menjadi dasar bahwa negara memiliki kewajiban memelihara, mengatur dan melindungi urusan rakyat adalah sabda Rosulullah SAW:“Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala dan ia akan diminta pertqanggungjawabannya atas gembalaannya,” (HR Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud dari Ibnu Umar)[3]

Ketiga pilar di atas tidak bisa berjalan sendiri untuk dapat melaksanakan pendidikan Islami.  Keluarga, masyarakat  dan negara adalah satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi sehingga tujuan pendidikan yanng diharapkan benar-benar dapat tercapai. 

KURIKULUM YANG BERKARAKTER 
 
 Kurikulum ( yaitu suatu kelompok pelajaran dan pengalaman yangn diperoleh si pelajar di bawah bimbingan sekolah[4]) sebagaimana landasan pendidikannya, ia juga berlandaskan aqidah Islamiyah. Menurut Abdurrahman Al Baghdadi yang dimaksud dengan kurikulum berlandaskan aqidah adalah bukan berarti setiap pengetahuan harus bersumber dari Aqidah Islam.  Islam tidak memerintahkan demikian, karena tidak semua ilmu bersumber dari Aqidah Islam.  Aqidah Islam di sini hanya menyangkut keimanan dan hukum Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang lain.  Adapun yang dimaksud meletakkan aqidah Islam sebagai dasar dari ilmu pengetahuan adalah aqidah Islam dijadikan sebagai standar penilaian, mana yanng boleh diambil mana yang tidak.  Oleh karena itu mempelajari segala macam ilmu pengetahuan bukan suatu penghalang[5]. Sebagaimana Rosulullah bersada:“Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina”[6]

Kurikulum tersebut memiliki tiga komponen yaitu:(1) komponen pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam yang diberikan secara konstan dan simultan dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi.   (2) Komponen tsaqofah Islam, dan komponen ilmu kehidupan (Iptek danketrampilan) dilakukan  bertingkat sesuai dngan tingkat pendidikan.  Sementara pelajaran yang bermuatan tsaqofah kufur seperti idiologi sosialis atau sekuleris, aqidah ahli kitab, filsafat Yunani dan lain-lain tidak diberikan diberikan pada sekolah dasar, tetapi hanya akan diberikan pada tingkat perguruan tinggi dengan tujuan untuk dapat menjelaskan kesalahannya, bukan untuk diamalkan.
            
            Sedangkan metode penyampaian kurikulum yang dipilih haruslah yang menghasilkan pemahaman kemudian amal, bukan sekedar teori atau hafalan semata.  Karena secara umum metode belajar anak adalah menanamkan keimanan yang kuat kemudian mendorong anak untuk belajar syariah (hukum-hukum) Allah dan mendorong untuk mengamalkannya,  sebagaimana firman AllahSWT:“Orang-orang yang beriman dan beramal sholih, maka beruntunglah mereka dan bagi mereka tempat kembali yang sebaik-baiknya.” (QS Ar Ra’d: 29).  Dalam sebuah hadist Rosulullah SAW berdo”a: “ Ya Allah, saya berlindung kepadaMu terhadap 4 perkara: terhadap ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, nafsu yanng tidak puuas dan do’a yanng tidak didengar” (Hadist An Nasa’i No. 5372)
         
             Dalam sistem pendidikan Islami tentu saja kurikulumt tidak dapat berdiri tanpa ada faktor yang Penunjang.  Maka pendidikan Islami ini perlu ditunjang  oleh tenaga pendidik yang profesional dan handal, pengelolaan (manajemen) yang baik, dan penyediaan fasilitas atau sarana pendidikan yang mencukupi.  Dengan demikian generasi sebagai umat yang terbaik (Khoiru Ummah) akan dapat terwujud.  Dan ini merupakan pendidikan berkarakter yang selama ini hilang dan sedang kembali dicari serta generasi yang dihasilkannya sudah pasti memiliki daya kompetensi di segala bidang.

PENUTUP

Demikianlah gambaran komprehensif pendidikan Islami yang dapat menghasilkan generasi Islam yang memiliki daya kompetensi yang tinggi sesuai dengan julukan Khoiru ummah dari Allah SWT.  Membandingkan gambaran ini dengan kondisi pendidikan saat ini tentu kita merasa berat untuk bisa mencapai tujuan pendidikan Islam.  Kendala besar tentu saja karena pendidikan saat ini telah dipengaruhi oleh sistem sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang sedang berkibar. Untuk itu sudah seharusnya praktisi pendidikan muslim memperjuangkan kembalinya pendidikan Islami yang berkarakter dan memiliki daya kompetensi yang tinggi
           
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan Terjemahan, Depag RI
Abdurrahman Al Baghdadi, 1996, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Surabaya:Al Izzah
Abd. Wahid Hasyim, Konsep pendidikan Dalam al Qur’an,Edukasi No1, Maret 2009
Emmi Khairani, Menggali Potensi Melejitkan Prestasi, Makalah 10 April 2010.
Khodijah “Azzziizah, Hak anak tanggung jawab siapa, Makalah 29, Juni 2001
Taqiyuddin an Nabhani, 2003, Kepribadian Islam, Cet ke- I , Bogor:PTI
UU  RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Cet ke-I Juli 2010
Yuliana, Menjadi Pendidik Tangguh, Makalah 7 Maret 2009
Zulfa Alya, 2008, Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Aqidah Islam, Seri ke-3, Yogyakarta:Ar Raudhoh Pustaka


[1] Taqiyuddin Abn Nqbhqni, Kepribadian Islam, (Bogor, PTI, 2003) hal1
[2] Khodijah Aziizah, Hak Anak Tanggung Jawab siapa?(Jakarta, 2001)hal:35
[3]Abdurrahman Al Baghdadi,Sistem pendidikan di Masa Khilafah Islam,(Surabaya, al Izzah 1996),hal 59
[4] Prof,Dr Soegondo Poerbakawitja,HAHarahap,Ensiklopedia Pendidikan ,hal.188
[5] Abdurrahman al Baghdadi, Sistem pendidikan di masa Khilafah Islam, (Surabaya, Al Izzah, 1996) hal.12
[6] Al- Fathul Kabir, Jilid I  hal 193

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ini ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus